Perang Lawan Corona Tanpa Senjata

Indonesia ini seolah berperang melawan corona tanpa memakai senjata. Entah apa yang kita pegang, dana stimulus minim, lockdown sebatas himbauan, bantuan sosial tidak dirancang baik, tes tidak bisa masif, fasilitas kesehatan serba kekurangan. Angka jutaan infeksi seperti di Amerika sepertinya bukan mustahil, apalagi kerusakan ekonomi setelahnya.

Soal dana stimulus yang katanya 400an triliun itu. Seolah besar dan memang kalau dibandingkan dengan persentase stimulus 2 triliun di Amerika kira-kira sebanding. Tapi bahkan Malaysia saja paket stimulus nya sekitar 80 persen dari anggaran negara di tahun 2020. Jepang lebih ekstrim lagi sampai bagi-bagi duit kesemua warga. Amerika belakangan malah tambah, minjam kan boleh apalagi masih ada ruang karena rasio utang kita masih rendah.

Dari anggaran mini ini muncul pula masalah di daerah yang kacau balau sehingga menteri keuangan saja mengancam dana ke daerah kalau tidak becus tidak ditransfer. Yang juga terdampak adalah dana yang seharusnya berupa bantuan sosial. Ketika bantuan dibungkus dengan embel-embel pelatihan kacangan maka banyak yang bereaksi. Bukankah mubadzir memberikan dana triliunan untuk jasa mediocre dari aplikasi lokal. Andai mereka mampu menyediakan pelatihan yang berkualitas tentu semua senang.

Walaupun begitu, jutaan buruh yang kena imbas PHK pun masih tidak akan bisa menerima manfaat kalau skemanya training high tech seperti itu. Apa susahnya sih transfer saja. Termasuk bantuan untuk yang membutuhkan dalam bentuk sembako, tidak terbayangkan dengan segala kekurangan Indonesia utamanya transportasi. Pekerjaan membagikan sembako dalam waktu singkat ke puluhan juta orang itu kata sebuah situs berita seperti pekerjaan membangun prambanan dalam satu malam, mustahil sukses.

Ikut saja Amerika dan Jepang dan banyak negara lain yang transfer duit. BLT dulu juga pake duit, bahkan sebenarnya masyarakat lebih butuh cash daripada bahan makanan yang bisa jadi karena proses pendistribusian yang tidak baik (sudah terkenal kan beras raskin kualitasnya seperti apa) malah cuma mie instan, beras rusak dan telur busuk. Banyak studi yang mendukung bahwa transfer dana tunai lebih efektif. Resiko kesehatan besar juga kan bagi masyarakat kalau harus berurusan dengan pendistribusian barang-barang seperti ini. Transfer dana bantuan sosial juga harus dari satu kementrian saja, tidak usah sok-sok ngasih masing-masing.

Sampai 2 Mei sekitar dua bulan dari kasus pertama yang resmi disiarkan dari pengakuan resmi pemerintahan baru 107ribuan tes swab yang dilakukan pemerintah. Ratusan ribu rapid test yang didatangkan dari China ternyata tidak akurat, sementara mesin tes yang akurat sedikit dan kekurangan reagen tes. Di negara lain ada yang sepertinya menghitung rapid test sebagai tes juga sehingga rasio tes mereka tinggi, seperti Malaysia.

Kalau memang rapid test 300 ribu asal Belanda yang juga digunakan staf NHS Inggris akurat seperti yang diklaim produsenya maka rasio tes bisa naik cepat. Sambil menunggu produksi dalam negeri, mengapa tidak tambah saja impor tes dari Belanda, Jerman dan Korea. Tapi, cukup mengherankan setelah mendatangkan 20an mesin PCR dari Swiss tidak ada lagi kabar tambahan impor mesin tes. Malaysia punya target 20 ribu tes per hari, sekarang sudah belasan ribu tes yang mampu mereka lakukan per hari bahkan dengan Filipina kita masih kalah.

Kalau pemerintah tidak denial sejak Januari, tentu sudah lebih dulu mempersiapkan lab tes, mesin-mesinnya, reagen, catridge etc. Ternyata kan sudah ada juga mesin-mesin itu di lab kampus-kampus, beberapa balai POM dan juga alat tes TBC yang tersebar di beberapa lokasi ternyata bisa disesuaikan untuk mengetes. Yang paling utama SDM yang mampu melakukan tes ngejlimet swab PCR. Janji 10 ribu tes pun sebatas pemanis saja, target tes 2 juta sampel juga susah dengan PCR.

Jika ingin percaya diri seperti Swedia atau pada beberapa minggu yang lalu Inggris dan Belanda yang berani mendambakan herd immunity negara kita harus paling tidak punya sistem kesehatan yang handal. Padahal semua tau bahwa Indonesia masih jauh dari standar pelayanan kesehatan yang baik. Demam berdarah saja kita banyak yang harus meregang nyawa, belum lagi kalau dihitung jumlah pasien yang meninggal karena pelayanan kesehatan yang buruk.

Ada banyak keraguan memang terhadap kemampuan dalam negeri untuk tiba-tiba menciptakan ini itu. Produksi ventilator misalnya, seolah ciptaan lokal padahal blueprint nya sudah dibagikan oleh lembaga seperti MIT. Apalagi dengan berita bahwa Inggris membatalkan pembelian ventilator sederhana. Bahkan perusahaan secanggih Tesla pun ventilator nya gagal, ditolak rumah sakit di California sana. Meskipun ada artikel yang mengatakan bahwa ventilator sederhana juga bisa sebermanfaat yang canggih, tapi janji produksi massal dalam negeri juga tidak kunjung dipenuhi.

Belum lagi APD yang diberitakan bisa produksi jutaan, kalau cuma masker wah itu jelas kurang. Jangan sampai kapasitas produksi yang janjikan belasan juta cuma masker saja, sedangkan sarung tangan, hazmat, dst bagaimana. Seolah dengan promosi masker kain polemik APD jadi terselesaikan.

Menjawab pertanyaan sederhana presiden tentang negara mana yang menerapkan lockdown dan berhasil saya malah teringat wawancara walikota di Italia yang kotanya menjadi epicenter. Beliau mengulang-ngulang bahwa lockdown lah solusinya. Tentu ini seolah jauh, tapi keberhasilan Vietnam negara tetangga yang populasinya besar dan ekonominya masih kalah dengan Indonesia bisa menjadi contoh.

Filipina yang sama-sama negara tropis kepulauan dengan populasi yang besar dan ekonomi yang jauh lebih kecil dari Indonesia mampu melakukan lockdown ketat. Mengatakan biaya sampai 500an milyar per hari untuk biaya hidup sejakarta bila dilockdown sepertinya tidak masuk akal, potensi pendapatan hilang sebesar itu sih mungkin. Vietnam dan Filipina tidak bangkrut kok itu.

Tulisan ini cuma rage saja, menghempaskan berbagai uneg-uneg. Sambil berharap para pemimpin kita diberi pikiran yang jernih dan kekuatan. Agar dokter dan perawat kita tidak berguguran begitu saja, agar mereka bersemangat, tabah menjalankan tugasnya. Agar di sudut-sudut sempit tak berampun negeri ini tak banyak yang meregang nyawa karena kelaparan saja. Ah negriku, ah dunia ini, sehatlah, vaksin, mana vaksin.

Leave a comment