Ditinggal Nikah Sahabat

It’s cliché sebenarnya. Sahabat ya tetap sahabat walau kita ditinggal nikah, sendirian, tanpa dia lagi disisi kita menghadapi dunia yang begitu penuh dengan huru-hara ini dengan malam yang begitu dingin menusuk ke persendian tak ber tuan. LOL, so dramatic.

Ternyata ada saatnya dalam hidup kita ketika orang-orang sebaya mulai bernikahan. Alasan hormon tinggi lah, alasan cintah, kepengen berkeluarga, atau alasan lama keuangan. Banyak alasannya, belum lagi ditambah masa pandemi. Kaum lelaki tak bermodal mulai gencar main lamar anak orang dibantu penghulu.

Dua tiga orang pertama reaksi pasti biasa saja. Tapi ketika rate nya makin tinggi wah ngejleb juga ya. Cukup untuk memantik refleksi diri, konsepsi yang ada di dalam kepala tentang kehidupan ini secara menyeluruh. Secara teori kita semua tau masa-masa ini akan datang, tapi ketika tengah mengalaminya sendiri ternyata lumayan berasa juga kehidupan.

Yang membuat saya kaget sebenarnya secara finansial ini terlalu cepat bagi rata-rata mereka. Seperti generasi-generasi sebelumnya, mereka berani nikah tanpa rumah. Mungkin aset terbesarnya cuma kendaraan dan sedikit tabungan. Dengan gaji yang masih jauh dari belasan juta, mereka mengandalkan orang tua kelas menengah sebagai backup kalau-kalau. Banyak yang hidup numpang karena biaya DP rumah saja belum punya.

Bagaimanapun sebenarnya pendidikan sudah menambah usia nikah. Setelah SMA, masih harus ditambah 4 tahun kuliah pasti jauh lah dari gadis-gadis jaman dulu yang tidak perlu sekolah. Apalagi kaum lelaki, pasti kerja dulu baru berani kalau sekarang ini. Minimal modalnya kalo temen-temen cowok sih kerja atau paling ga, udah ada usaha sendiri.

Bagus juga sih kalo dilihat dari bonus demografi yg katanya bakal mentok di 2040an. Setelah itu kurvanya akan menua seperti di China saat ini. Setelah ekonominya tumbuh berlipat-lipat nampaknya mulai terjadi pergeseran ketika para pekerjanya mulai menua. Atau Jepang yang meskipun standar kehidupannya sangat tinggi secara kasat mata sehat, tapi dengan penduduk yang menua otomatis produktifitasnya menurun. Masih ada harapan kalau nanti setelah tahun itu warga kita banyak yg masih muda-muda. Tidak se-jleb Korea yang pertumbuhan penduduknya negatif.

Tapi lucu juga ya, ketika rata-rata generasi yang baru nikahan sekarang ini penghasilannya masih kalah sama orangtuanya. Dengan gaji UMR, tanpa aset (rumah) dll sepertinya mengkhatirkan bahwa tidak terjadi upward mobility di negara ini. Jangan sampai kita menjadi tua sebelum makmur, middle income trap.

Terlepas dari logic yang seperti itu, otomatis prioritas mereka jadi beda. Dari teman ke istri dan kemudian kalau sudah dapat momongan pasti anak lah. Apalagi kalau anak-anaknya masih balita, masih sangat banyak akan membutuhkan perhatian mereka. Boro-boro bertemu, menyapa di wa saja udah sungkan wkwkwkw. Karena yang baca sekarang ini sudah dua orang, bahkan bisa jadi yang jawab malah pasangannya. Hadeh pas masih belum nikah aja udah ada yang cemburu isi chat antara teman apalagi pas nikahan. Langit 🙂